Senin, 10 November 2008

COPET LAGI COPET LAGI DI KERETA


Saat-saat krisis ekonomi masyarakat yang sudah brutal sekarang ini, , jasa angkutan kereta api merupakan pilihan utama bagi sebagian besar penduduk Jakarta, Tangerang, Bogor, Bekasi dan Depok. Naik berdesakkan desakan seperti ikan sarden atau terpaksa menafaatkan senti-demi senti di atap kereta bukanlah pilihan tetapi keterpaksanaan. Resiko jatuh, luka atau mati, itu sih namanya takdir. Kalo dilihat jumlah penumpang seperti itu, pasti dibenak orang menyimpulkan bahwa perusahaan kereta api memperoleh untung besar, kemudian uangnya dihimpun dan dipergunakan kembali untuk memperbaiki pelayanan.
Tapi anggapan dan berfikir dengan kalimat "seakan-akan" itu, malah sebuah utopia belaka.
Katanya sih pihak manajemen perkereta apian kita berbenah diri untuk memperbaiki kinerja pelayanan. Tapi itu hanya sebatas "omong doang", karena tidak ada perubahan signifikan yang dapat di ingat warga pengguna kereta itu selama beberapa tahun terakhir.Kenyamanan naik kereta saat ini barangkali sebuah kemewahan luar biasa, apalagi di atas kereta benar-benar besar dari gerombolan copet, pengamen, pedagang asongan, peminta-minta, jual kambing, jual pintu dan jual-menjual lainnya termasuk jualan manusia.
Praktik percopetan misalnya, bukan lagi sesuatu yang luar biasa. Hingga tidak salah jika si penumpang kalau sudah berada di dalam gerbong bagaikan orang ketakutan, tas di pegang erat-erat, bermuka sangar serta terkesan tidak bersahabat atau tindakan apa saja yang dapat memprotek diri dari ancaman kriminal itu. sang petugas keamanan dari Satpan KA, Polsus atau polisi bukan enggak ngerti soal yang satu ini, sama sangat mengertinya dikalangan penumpang bahwa mereka yang berseragam itu hanya sekedar asoseris belaka.
Mau memberantas atau setidaknya mengurangi kejahatan di di dalam gerbong, ah itu mungkin sesuatu yang sangat mustahil karena pihak manajemen hanya sebatas "omdo", tanpa niat, perencanaan dan action untuk memerangi kemungkaran itu. Jangankan membekuk maling, menertibkan kondektur yang meraup uang dari penumpang yang tidak sempat membeli karcis kemudian membayar di atas kereta saja, nampaknya sesuatu yang legal-legal dan mereka akan tertawa terbahak-bahak jika dituduh pungli.
Sebenarnya masyarakat tidak terlalu terkesima tentang penangkapan koruptor yang menilap uang rakyat berjibun-jibun itu, tetapi kebutuhan mendesak di benak rakyat adalah sesuatu yang ada dan berulang ulang didepan mereka termasuk di mata pengguna kereta api itu.
Kalau lihat petugas bersergam satpam sih iya, ganas lagi. Tapi itu ternyata hanya sekedar tukang pungut karcis setibanya penumpang di stasiun tujuan. Untuk meminta layanan lebih dari itu, jangan harap karena satpam, polsus atau polisi terkesan enggan melayani warga yang terkena musibah perampokan dan kecopetan di kereta.
Keluhan ini terlalu sering disampaikan pengguna jasa kereta di Jabodatabek termasuk sejumlah peguyupan warga yang berhimpun sebagai komunitas pengguna kereta api. Fasilitas gerbong yang disediakan, mengesankan adanya kelas-kelas tersendiri bagi penumpang. Ada KA Ekspres Sudirman misalnya untuk melayani warga dari serpong, bintaro, kebayoran, tanah abang, dukuh atas hingga stasiun kota, kemudian ada ciujung, ada krl ekonomi dan ada kereta hantu diesel yang biasanya disebut warga sebagai kereta hantu. Harga tiketpun berbeda-beda dan itu sih lumrah saja, namun jangan lupa bahwa kelas-kelas kereta tersebut juga bersamaan dengan munculnya kelas-kelas copet yang beroperasi sesuai dengan "dompet" penumpang. Nampaknya kurang sedap jika didengar pimpinan manajemen PT Kereta Api Indonesia atau Menteri Perhubungan sekalipun, tapi apa boleh buat, fakta-fakta ini bukan lagi rahasia tetapi sudah menjadi bagian keseharian bagi pengguna kereta api itu.
Persoalannya adalah, apakah sudah tidak mampu lagi pihak kereta api menghapuskan "mafia" kereta api itu, atau setidaknya "mengurangi". Pengguna sebenarnya sudah muak "omdo" dari manajemen itu. Kalo gak sanggup, barangkali serahkan saja kepada swasta, karena setiap "penggeluh" tidak lagi harus berhadapan dengan kalangan para dewa birokrasi yang bertahun-tahun tidak mampu menyelesaikan masalah krusial tersebut. Komplain kepada swasta barangkali mungkin lebih mudah termasuk menuntut layanan dan penataan operasional perkereta apian yang lebih adil, pasti, transparan dan tentunya mampu memberi konstribusi dana kepada negara dan bukan ke kantong oknum saja. Tapi bagi rakyat yang sudah kenyang makan "omdo", pasti masih berharap bahwa suatu saat (entah kapan) berubah lebih baik dan barangkali enggak berharap banyak kepada manajemen pt kereta api indonesia yang ada sekarang, karena performan mereka sudah diketahui tidak mampu menempatkan diri sebagai perusahaan penyedia jasa publik. Ditata ulang dengan regulasi ..... ya gitu lah, atau dengan revolusi manajemen?, yang satu ini belum dicoba.

Tidak ada komentar: