Selasa, 21 Oktober 2008

OPEN HOUSE GAYA KAMPUNG


Kemiskinan yang melilit penduduk kampung Margasari, ternyata tidak harus melupakan tradisi “Aruh Ganal”. Sebuah jamuan massal gratis yang selalu diselenggarakan etnik Banjar di Kalimantan Selatan mengakhiri perayaan idul fitri.Untuk ukuran selebriti atau orang-orang kaya, pesta seperti ini jauh dari glamour karena tetamu undangan yang bakal hadir adalah penduduk kampung yang setiap harinya berkubang dengan tanah persawahan pasang surut, pengrajin anyaman, pembuat atap rumbia, atau paling tinggi srata sosialnya adalah guru negeri yang sejak kecil, besar dan (barangkali) mati di kampung miskin itu.Tetapi yang mengundang kekaguman adalah bentuk sprit kekeluargaan dan rasa nasib sepenanggungan yang terkesan langka bagi masyarakat moderen di perkotaan. Lelaki,perempuan, tua muda di kampung Margasari tersebut nampak menyatu dalam klosal gotong royong.Menjelang matahari menampakkan wajahnya di ujung kampung sebelah timur, ratusan lelaki tegab beserta puluhan perahu berkumpul disebuah dermaga untuk menunggu komando “tetuha kampung” (tokoh) untuk menjelajahi sungai Saka Raden untuk mencari kayu bakar dari pepohonan Kayu Galam yang biasanya tumbuh di areal rawa monoton.Sementara sejumlah kaum perempuan, terlihat sibuk menyiapkan makanan dan minuman yang sebelumnya dikumpul dari sumbangan warga kampung pada saat lebaran hari pertama. Tidak mewah memang, menu makanannya hanya terdiri dari nasi, sayur gangan Waluh (labu), Ikan Gabus, pepesan Ikan Patin, Iwak Wadi Papuyu (ikan sungai yang sudah menjalani permentasi) disertai dengan kue-kue tradisional seperti kue Amparantatak, Pais Pisang Talas, Nasi Lamak Bahinti, Kakicak, Apam habang, Tapai Lakatan yang semuanya terlalu rumit untuk diterjemahkan dalam dunia kuliner Indonesia.Suasana pagi itu sudah mengesankan sebuah pesta kecil yang biasanya disebut sebagai “baatur dahar”, sementara bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan “Baramu” (mencari kayu bakar) merupakan akvitas perjalanan wisata tahunan walaupun harus siap menghadapi tantangan rimba raya Kalimantan yang terkenal dengan kebuasan buaya, lintah, ular piton, kalajengking serta satwa pemangsa lainnya.Di ujung dermaga, juga berkumpul sejumlah puluhan lelaki dewasa beserta “kapal klotok” (perahu bermesin) yang penuh muatan dengan tali temali, tikar, bantal, kelambu, lampu sorot, prang, tombak dan peralatan masak-memasak. Kelompok ini adalah sebuah regu yang khusus bertanggung jawab mencari hewan “Hadangan Kalang” (kerbau besar) yang nantinya akan disajikan dalam pesta Aruh ganal itu.“Jangan ditanya tentang hambatan di lapangan, karena mereka bekerja penuh kegembiraan, ketulusan, tanggung jawab dan kehormatan,” tutur seorang lelaki setengah baya yang mengaku sudah seperempat abad terakhir selalu terlibat dalam pencarian hewan Hadangan Kalang yang biasanya ditemukan ratusan kilometer dari bibir sungai kampung mereka setelah menaklukkan keganasan alam berhari-hari.Bagi sekelompok perempuan yang bertanggung jawab dibidang konsumsi, tidak kalah menariknya. Dengan “lanjung” (tempat membawa padi) yang berada dipinggang masing-masing, pagi itu terkesan bagaikan rombongan kelompok marching band yang siap beraksi mengelilingi kampung dengan tugas mengumpulkan sumbangan beras.Margasari, sebuah perkampungan miskin 30 kilometer dari ibukota kabupaten Tapin, Kalimantan selatan yang menurut kepala kampung menyingkap penghasilan warganya rata-rata Rp.120 Ribu perbulan perkapita. Kemiskinan itu pula membuat warga kampung terpaksa melakukan migrasi besar-besran sejak sepuluh tahun terakhir, kemudian pulang mudik pada saat berlebaran.Kelompok pemudik itu, tidak semua memiliki keluarga dekat di perkampungan yang oleh pemerintahan kolonial memberi status pemerintahan “districhoofd” (kewedanaan) pada tahun 1889. Perumahan penduduk yang relatif besar dan berpekarangan luas tanpa pagar itu, tersusun berjejer mengikuti lekukan tiga cabang anak sungai sehingga tidak menjadi masalah bagi ribuan pemudik untuk mencari akomodasi.Kenduri besar-besaran seperti itu, juga dikenal bagi komunitas non-muslim yang tinggal dibelahan pegunungan Meratus, terutama suku Dayak “Urang Bukit” seperti kawasan Mancabung, Harakit, Balawaian, Batung, Danau Darah, dan Ranai. Walaupun terjadi perbedaan agama, namun kontek perayaan tidak terlepas dari rasa syukur atas nikmat dan keselamatan kampung yang dianugerahkan sang Khaliq.Letak perbedaan aruh ganal antara Muslim dan Non-muslim, adalah bentuk ritual dan instrument yang dipergunakan untuk perayaan itu. Bagi kaum Muslim, tidak ada ritual apapun kecuali membaca doa selamat yang dipimpin imam masjid, sebaliknya bagi penganut non-muslim biasanya dipimpin oleh pawang yang mengendalikan upacara adat “Balian”, sebuah ritual rumit yang memuja-muji roh halus dan dewa-dewa seperti “Kelangkung Mantit” (dewa nenek moyang burung), “Kelangkung Nyaru” (dewa petir) dan “Kelangkung Uria” (dewa yang dipercaya mampu memelihara tanaman dari pemangsa).Aruh ganal yang dilakukan warga kampung Margasari tahun ini, terkesan besar-besaran lantaran diantara para pemudik bersedia sebagai donatur perayaan. Jika bentuk “open house” lebaran tahun-tahun sebelumnya hanya diisi dengan hiburan pertunjungan “kuntau” (pencak silat), Kesenian hadrah atau Kuda Gepang dan permainan tradisional lainnya seperti “bagasing”, “balugu” atau “lalatupan” (meriam karbit dari batang kelapa” , namun kali ini disemarakkan lagi dengan orkes dangdut yang khusus diundang dari ibukota provinsi.Tidak ada aturan baku tentang berapa lama Aruh Ganal dilaksanakan, karena sangat tergantung dengan penyediaan konsumsi serta rangkaian acara. Tahun ini diselenggarakan selama dua hari dua malam tanpa henti, karena menjelang tengah malam diselenggaraan tadarus al-quran sampai khatam (tamat).Walaupun warga yang datang dengan pakaian seadanya memadati alun-alun kampung, namun diwajah mereka tercermin kebahagiaan luar biasa. Rasa terhibur bagi warga kampung miskin nampak berbeda dibanding penonton konser disebuah gedung ber-AC.Tidak jarang diantara mereka terkekeh-kekeh ketika menyaksikan pemain Kuda Gepang yang berkostum ala-kadanya terlihat melompat-lompat dan bertumbrukan dengan pemain lain lantaran menggunakan kacamata minus yang dipinjam dari tukang jam. Atau pada acara lain terlihat hadirin meneteskan air mata ketika imam masjid memberi spirit hidup bahwa kemiskinan bukanlah takdir dan kemiskinan merupakan bentuk lain dari kepongahan manusia yang dapat diruntuhkan oleh niat saling maaf dan memaafkan.

Tidak ada komentar: